Monday 2 January 2012

Pilihan dan Keputusan

Pilihan #1

Pada suatu pagi yang mendung, aku duduk di depan laptop dan berusaha mengetikkan email balasan untuk sahabatku di India sembari mengunyah ledre pisang. Berusaha supaya rontokan ledre tidak jatuh ke atas keyboard. 

"Mima, jangan makan sambil ngetik gitu," ibu berkomentar dari dapur, aku pura-pura tidak mendengar. Sahabatku ini, Tisa, sudah setahun lebih menghabiskan waktunya di India setelah sebelumnya meninggalkan Indonesia dan karirnya di bank swasta. Pilihannya untuk bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat dan menetap di Mumbai membuat shock semua orang, termasuk diriku. 

Ping!
tisa > ah lu online! 
mima > tisa, baru mau gua bales email lu..
tisa > mim, gua lagi bahagiaaa
mima > knp?
tisa > gua baru dilamaarr!

Aku tersedak ledre pisang.

Pelamar yang beruntung adalah teman lama Tisa, mereka saling kontak di facebook dan lewat percakapan-percakapan tengah malam mereka yakin bahwa mereka ditakdirkan untuk satu dan lainnya. Akhirnya, lewat telepon pria ini melamar Tisa, dan Tisa menjawab ya. Pada poin ini, remahan ledre pisang sudah berhamburan di sekitar laptopku. 

Pilihan #2

"Jadi mau yang mana? Salem pink atau salem peach?" Tisa menyodorkan kain ke hadapanku.
"Mirip Tis.." aku menyeret langkahku ke dalam gulungan warna warni kain. Di luar matahari Jakarta bersinar terang dan di dalam toko kain 'Bombay' AC berhembus kencang, tepat di atas kepalaku. 
"Mima, konsen dong.., ini buat seragam lu loh!" Tisa menarik lengan bajuku. 
"Tis, sekali-kalinya lu pulang kenapa sih kita harus ke toko kain?" tapi kuambil juga dua kain salem itu dari tangannya, Tisa tersenyum puas. 
"Pilih yang bener Mim, warna kain nentuin banget loh warna kulit lu jadi lebih gelap atau terang." Ia membuka kain brokat dan meletakkan di lenganku, "salem pink ini bikin kulit lu tambah gelap, yang peach bikin lebih terang, liat deh."

Luar biasa bagaimana Tisa bisa begitu lama memikirkan pilihan yang paling tepat untuk kain dan secepat itu memilih pasangan hidup. 

Seperti bisa membaca pikiranku, Tisa berkata, "gua tau sih keputusan yang gua ambil kesannya terburu-buru," ia memberikan penekanan pada kata 'kesannya', "tapi lu percaya kan sama gua Mim? Ada suatu keyakinan dalam diri gua kalau gua bisa menjalani itu."

Itulah masalahnya, aku tidak yakin.

Aku tersenyum, "gua percaya. gua ambil yang peach aja Tis.."
"Oke," Tisa tersenyum lebar, "sekarang kita pilihin kain buat bude-bude gua ya."

Pilihan #3

Tiga bulan setelah berita lamarannya, Tisa berubah. Bulan pertama dari Mumbai ia membanjiriku dengan cerita tentang Rangga, tunangannya. Bulan kedua ia pulang ke Indonesia dan membanjiriku dengan segala macam tetek bengek pernikahannya. Bulan ketiga ia menjadi sangat pendiam. Setiap kutanya ia selalu menjawab, "capek".

Seminggu sebelum hari pernikahannya, ia mengundangku untuk sebuah coklat hangat di restoran kecil tempat kami dulu sering berkumpul, sebelum ia pergi ke Mumbai dan segala sesuatu mulai berubah. Tante pemilik restoran menyapa kami ramah sebelum meninggalkan dua coklat panas beraroma hazelnut diantara kami. 

Tanpa menyentuh coklatnya atau menatap mataku, Tisa berkata tanpa titik dan koma. Ia tidak yakin ingin menikah dengan Rangga. Ia tidak yakin ingin menghabiskan hidupnya dengan Rangga. Ia ingin semua kembali simpel, dengan kehidupannya di Mumbai, sendiri. Ia tidak ingin pulang ke Indonesia dan menjadi ibu rumah tangga. Ia tidak ingin hidupnya berakhir dengan daster dan pisau dapur.

Aku menatap sahabatku, bertopang dagu dengan mata merah. Jelas bahwa ia belum tidur sejak kemarin, rambutnya berminyak dan bau asap rokok melekat pada bajunya. Ia terdiam menungguku mengeluarkan kata-kata.

Di luar restoran kecil ini, senja mulai turun. Pohon, jalanan, dan mobil-mobil yang melintas semua nampak berwarna biru keabuan. Tukang parkir berlari untuk menerima seribu rupiah dari sebuah mobil sedan. Dua mahasiswi berjalan sambil tertawa, tidak menghiraukan sapaan usil preman di kios rokok. Seekor kucing kampung menyusup ke dalam restoran berusaha menemukan remah-remah roti. Tidak ada yang cukup penting di dunia ini, termasuk Tisa dan pilihan-pilihannya.

Sejauh yang kutahu, apapun pilihan Tisa tidak akan berdampak banyak pada tukang parkir, dua mahasiswi, preman di kios rokok, kucing kampung atau diriku. Tapi sore ini ia menunggu pilihanku akan hidupnya. Akankah aku menjadi seorang teman yang mendukungnya apapun pilihannya (sepertinya terdengar aman) atau seorang teman yang mengingatkannya betapa ia sangat mencintai Rangga (setidaknya itu yang dua bulan ini selalu keluar dari mulut Tisa). Dan pentingkah pendapatku untuknya?

Keputusan

Dua bulan setelah keputusan Tisa, aku menerima telepon darinya, ia hamil. Suaranya memekik riang, naik dua oktaf. Suaminya seorang teknisi IT di Mumbai bernama Karn yang dengan sangat baik hati mengirimiku tiket untuk menghadiri pernikahan mereka di India, karena tidak seorangpun anggota keluarga Tisa bersedia hadir sejak ia memutuskan secara sepihak untuk meninggalkan Rangga.

Terakhir kali aku meminum coklat panas di restoran langganan kami, tukang parkir itu masih disana, tante pemilik restoran menyapaku ramah seperti biasa, preman kios rokok terbaring tidur di bangku kios dan kucing penyelinap tertidur pulas di bawah meja kasir, kekenyangan.

Aku menyesap coklatku pelan dan tersenyum. Lucu juga betapa keputusan besar pengubah jalan hidup seseorang berarti begitu kecil untuk dunia. Apa yang kukatakan pada Tisa saat itu adalah, "apapun masalah hidup lu, Tis..sepertinya dunia tidak akan berhenti berputar dan ikut ambil pusing."

Jadi Tisa memutuskan untuk tidak ambil pusing dengan dunia, memilih untuk menjadi egois, meninggalkan Indonesia sekali lagi (dengan lebih dramatis dari sebelumnya), dan memilih menyelami ketidakpastian di bawah langit Mumbai.

Elemen-elemen pembentuk diri Tisa membawanya bertemu dengan Karn dan walaupun sekarang ia duduk di dalam apartemen pada pagi hari yang panas di Prabasdhevi Road, memegang pisau dapur, mengenakan daster, hamil dan seorang ibu rumah tangga, Tisa seorang perempuan yang sangat bahagia. 

pemandangan dari jendela apartemen Tisa. 

5 comments:

  1. subhanallah kerennya ya ampun ohmigod tulisan sederhana tapi bikin seneng yg baca aaah banyak2 nulis kayak gini aja :D *komen lebay*

    ReplyDelete
  2. terimakasiiih linda.. aku folo kisah Chang juga yaaa.. :D

    ReplyDelete
  3. kenapa TISA??? kenapa chit??? kenapaaa????!!!

    ReplyDelete
  4. ini tisa granicibe tis... hahahaha.. KALIAN FOLLOW KALI BLOG GUA. *pemaksaan*

    ReplyDelete