Monday 9 January 2012

Menyimpan Aroma Hujan


Lucu juga bagaimana kesadaran akan sesuatu tumbuh dalam pikiran kita. Terutama ketika kesadaran tersebut mengubah jalan pikiran dan bahkan hidup kita. Mungkin inilah salah satu pembentuk elemen yang paling penting.

Setelah menjalani hubungan yang baik dengan Satria selama 4 tahun, setelah melalui masa kuliah dan kemudian lulus bersama, setelah pembicaraan mengenai masa depan menjadi mimpi bersama, sebuah kesadaran datang ke dalam pikiranku : aku tidak ingin menikah dengan Satria.

Kesadaran ini datang di waktu yang sangat ironis, di dalam masjid pada suatu prosesi akad. Teman kuliah kami menikah pagi itu, aku mengenakan atasan sutra batik dan celana hitam. Satria dengan atasan batik senada, aku selalu menyukai fakta bahwa ia selalu tampil baik dalam segala kesempatan. Aku masih ingat harum Polo di badan Satria ketika ia menggandeng tanganku menapaki tangga masjid, dan ia tertawa melihatku mengerutkan kening, “hati-hati, makanya heels-nya jangan tinggi-tinggi.” Aku memberikan pembelaan  bahwa ini heels yang paling cocok dengan dress batik-ku.

Di dalam masjid kami berpisah, ia duduk di bagian pria, dan beberapa kali melemparkan pandangan padaku. Satria selalu seperti itu, ia selalu berusaha memastikan bahwa aku ada dalam jarak pandangnya, kadang-kadang membuatku tidak nyaman, terkadang aman. Aku melambaikan tangan kecil dan perhatianku teralih oleh temanku, Lia, sang mempelai wanita yang  telah memasuki aula masjid. Lia nampak cantik dengan paes dan rangkaian melati membalut konde di kepalanya, baju kebaya putih berpayet-nya berkilau diterpa cahaya matahari yang masuk di sela-sela bouvenlicht masjid. Ia tidak tersenyum dan tidak membuat kontak mata, sementara calon suaminya mengucapkan ijab kabul dengan lantang. Aku melemparkan pandangan ke arah Satria dan mendapati ia sedang menatapku seraya tersenyum. Senyumnya berbicara seakan meredam suara-suara di sekeliling kami, bahwa suatu hari nanti, kamilah yang akan berada di depan dan aku yang akan mengenakan kebaya berpayet putih.

Aku mengalihkan pandangan dan kembali menatap Lia di podium. Sesaat lagi mereka akan sah menjadi suami istri, dan aku melihat tatapan Lia, teduh dan menunduk. Seakan-akan ada kekuatan agung yang menguasainya, membuatnya patuh dengan cara yang tidak terdeskripsikan. Di mataku, bukan Lia yang kulihat, tapi seorang wanita. Seakan-akan ia telah termarginalisasi dan Lia yang lama telah hilang.
Saat itulah aku menyadari bahwa aku tidak ingin menikah dengan Satria.

Hari dimana aku mengatakan isi hatiku pada Satria adalah hari dimana aku terakhir berbicara dengannya. Ia bertanya mengapa, dan mengapa, dan mengapa. Ketika aku tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan ia terdiam dan pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ia menghilang di balik kaca patri kedai kopi, dan ketika pintu tertutup aku bertanya-tanya berapa orang dalam hidupku yang akan hilang setelah aku berpisah dengan Satria. Tante Wuri dan Om Daniel, ayah ibu Satria. Bi Ijah, pembantu di rumah Satria. Bahkan Buggy, anjing Pug pemalas milik Satria yang kami beli bersama setahun yang lalu.
Ketika aku mengingat Buggy, aku menangis.

-

Dua tahun berlalu dan aku sama sekali tidak pernah bertatap muka dengan Satria. Lucu juga bagaimana elemen-elemen pembentuk hidup dapat hilang dan muncul semudah itu. Aneh rasanya bagaimana aku bisa melepaskan seseorang yang tahu jelas bahwa aku lebih memilih indomie rasa ayam bawang dibanding kari. Seseorang yang tahu bahwa aku selalu duduk di sisi kanan di dalam gedung bioskop. Seseorang yang selalu tahu bahwa aku tidak menyukai makanan berwarna biru dan selalu dengan senang hati memakan m&m’s berwarna biru yang kusisakan. Seseorang yang menjadi bagian dari elemen-elemen pembentuk hidupku tahunan lamanya.

Aneh karena aku tidak merindukannya sekaligus merindukannya. Seperti merindukan aroma hujan ketika musim kemarau datang, sangat wajar. Bukankah manusia selalu merindukan hal-hal yang indah dan menyenangkan baginya? Tapi tidak mungkin untuk menyimpan aroma hujan, jadi hanya dengan mengingatnya saja, itu sudah cukup baik.

Kesadaran kecil di pagi hari prosesi akad Lia (yang sekarang sudah mempunyai dua anak perempuan), membawaku ke dalam proses perubahan-perubahan pikiran yang menyenangkan. Sebagian adalah perasaan lega, seakan selama ini aku menyelam tanpa tabung oksigen dan kini aku membuka lebar paru-paruku dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

Setelah beberapa lama, akhirnya aku menjadi seorang individu.

Bukan pacar, bukan milik seseorang, tapi seorang wanita muda yang bebas.

Menyenangkan ketika elemen-elemenku mulai berubah dan aku menyadari bahwa duduk sendiri di dalam bioskop itu menyenangkan, indomie rasa kari tidak seburuk yang kukira dan m&m’s berwarna biru sama rasanya dengan yang merah atau kuning.

“Mungkin emang lu gak pernah bener-bener cinta sama Satria.” Tisa berteori.

Mungkin, tapi samar-samar aku ingat aku pernah benar-benar mencintai dan menangis untuknya.

Kesadaran lain timbul,

Cinta ternyata bukan hal yang spesial. Tidak ada yang lebih baik daripada menghabiskan Sabtu malam ditemani sepiring chicken wings dan saus tartar, campuran sprite dan guinness dengan irisan lemon, Jim Sturgess di layar kaca dan suara hujan di luar jendela. Serta kemungkinan akan cinta yang lain besok pagi.

Halo, Mima.

1 comment:

  1. yah..cinta memang kadang tak lagi menjadi hal yang spesial..saat kita tak mendapatkan apapun dari rasa cinta..
    kebahagiaan yang membuat dunia lebih berwarna daripada cinta itu sendiri..
    kerennn..ditunggu lanjutannya

    ReplyDelete