Lucu juga bagaimana kesadaran
akan sesuatu tumbuh dalam pikiran kita. Terutama ketika kesadaran tersebut
mengubah jalan pikiran dan bahkan hidup kita. Mungkin inilah salah satu
pembentuk elemen yang paling penting.
Setelah menjalani hubungan yang
baik dengan Satria selama 4 tahun, setelah melalui masa kuliah dan kemudian lulus
bersama, setelah pembicaraan mengenai masa depan menjadi mimpi bersama, sebuah
kesadaran datang ke dalam pikiranku : aku tidak ingin menikah dengan Satria.
Kesadaran ini datang di waktu
yang sangat ironis, di dalam masjid pada suatu prosesi akad. Teman kuliah kami
menikah pagi itu, aku mengenakan atasan sutra batik dan celana hitam. Satria dengan
atasan batik senada, aku selalu menyukai fakta bahwa ia selalu tampil baik
dalam segala kesempatan. Aku masih ingat harum Polo di badan Satria ketika ia
menggandeng tanganku menapaki tangga masjid, dan ia tertawa melihatku
mengerutkan kening, “hati-hati, makanya heels-nya jangan tinggi-tinggi.” Aku memberikan
pembelaan bahwa ini heels yang paling
cocok dengan dress batik-ku.
Di dalam masjid kami berpisah, ia
duduk di bagian pria, dan beberapa kali melemparkan pandangan padaku. Satria
selalu seperti itu, ia selalu berusaha memastikan bahwa aku ada dalam jarak
pandangnya, kadang-kadang membuatku tidak nyaman, terkadang aman. Aku
melambaikan tangan kecil dan perhatianku teralih oleh temanku, Lia, sang
mempelai wanita yang telah memasuki aula
masjid. Lia nampak cantik dengan paes dan rangkaian melati membalut konde di
kepalanya, baju kebaya putih berpayet-nya berkilau diterpa cahaya matahari yang
masuk di sela-sela bouvenlicht masjid. Ia tidak tersenyum dan tidak membuat
kontak mata, sementara calon suaminya mengucapkan ijab kabul dengan lantang.
Aku melemparkan pandangan ke arah Satria dan mendapati ia sedang menatapku
seraya tersenyum. Senyumnya berbicara seakan meredam suara-suara di sekeliling
kami, bahwa suatu hari nanti, kamilah yang akan berada di depan dan aku yang
akan mengenakan kebaya berpayet putih.
Aku mengalihkan pandangan dan
kembali menatap Lia di podium. Sesaat lagi mereka akan sah menjadi suami istri,
dan aku melihat tatapan Lia, teduh dan menunduk. Seakan-akan ada kekuatan agung
yang menguasainya, membuatnya patuh dengan cara yang tidak terdeskripsikan. Di
mataku, bukan Lia yang kulihat, tapi seorang wanita. Seakan-akan ia telah termarginalisasi dan Lia yang lama
telah hilang.
Saat itulah aku menyadari bahwa
aku tidak ingin menikah dengan Satria.
Hari dimana aku mengatakan isi
hatiku pada Satria adalah hari dimana aku terakhir berbicara dengannya. Ia
bertanya mengapa, dan mengapa, dan mengapa. Ketika aku tidak bisa memberikan
jawaban yang memuaskan ia terdiam dan pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Ia menghilang di balik kaca patri kedai kopi, dan ketika pintu tertutup aku
bertanya-tanya berapa orang dalam hidupku yang akan hilang setelah aku berpisah
dengan Satria. Tante Wuri dan Om Daniel, ayah ibu Satria. Bi Ijah, pembantu di
rumah Satria. Bahkan Buggy, anjing Pug pemalas milik Satria yang kami beli
bersama setahun yang lalu.
Ketika aku mengingat Buggy, aku
menangis.
-
Dua tahun berlalu dan aku sama
sekali tidak pernah bertatap muka dengan Satria. Lucu juga bagaimana
elemen-elemen pembentuk hidup dapat hilang dan muncul semudah itu. Aneh rasanya
bagaimana aku bisa melepaskan seseorang yang tahu jelas bahwa aku lebih memilih
indomie rasa ayam bawang dibanding kari. Seseorang yang tahu bahwa aku selalu
duduk di sisi kanan di dalam gedung bioskop. Seseorang yang selalu tahu bahwa
aku tidak menyukai makanan berwarna biru dan selalu dengan senang hati memakan
m&m’s berwarna biru yang kusisakan. Seseorang yang menjadi bagian dari
elemen-elemen pembentuk hidupku tahunan lamanya.
Aneh karena aku tidak
merindukannya sekaligus merindukannya. Seperti merindukan aroma hujan ketika
musim kemarau datang, sangat wajar. Bukankah manusia selalu merindukan hal-hal
yang indah dan menyenangkan baginya? Tapi tidak mungkin untuk menyimpan aroma
hujan, jadi hanya dengan mengingatnya saja, itu sudah cukup baik.
Kesadaran kecil di pagi hari
prosesi akad Lia (yang sekarang sudah mempunyai dua anak perempuan), membawaku
ke dalam proses perubahan-perubahan pikiran yang menyenangkan. Sebagian adalah
perasaan lega, seakan selama ini aku menyelam tanpa tabung oksigen dan kini aku
membuka lebar paru-paruku dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.
Setelah beberapa lama, akhirnya
aku menjadi seorang individu.
Bukan pacar, bukan milik
seseorang, tapi seorang wanita muda yang bebas.
Menyenangkan ketika
elemen-elemenku mulai berubah dan aku menyadari bahwa duduk sendiri di dalam
bioskop itu menyenangkan, indomie rasa kari tidak seburuk yang kukira dan
m&m’s berwarna biru sama rasanya dengan yang merah atau kuning.
“Mungkin emang lu gak pernah
bener-bener cinta sama Satria.” Tisa berteori.
Mungkin, tapi samar-samar aku
ingat aku pernah benar-benar mencintai dan menangis untuknya.
Kesadaran lain timbul,
Cinta ternyata bukan hal yang
spesial. Tidak ada yang lebih baik daripada menghabiskan Sabtu malam ditemani
sepiring chicken wings dan saus tartar, campuran sprite dan guinness dengan
irisan lemon, Jim Sturgess di layar kaca dan suara hujan di luar jendela. Serta kemungkinan akan cinta yang lain besok pagi.
Halo, Mima.
yah..cinta memang kadang tak lagi menjadi hal yang spesial..saat kita tak mendapatkan apapun dari rasa cinta..
ReplyDeletekebahagiaan yang membuat dunia lebih berwarna daripada cinta itu sendiri..
kerennn..ditunggu lanjutannya