Wednesday 18 January 2012

Decision I’ve Made When You’re Not Around


Halo Panji,
Saat ini aku sedang duduk di dalam ruang tunggu bandara dengan semangkok mie vietnam hangat dan kopi susu. Jam digital di dinding menunjukkan pukul 4.58 am. Aku menyandarkan punggungku di bangku plastik dan mendengarkan percakapan dua warga negara Singapur di meja sebelah. Di dalam konter makanan, penjaganya, dua orang wanita Malay juga sibuk bercakap-cakap. Tidak ada bahasa yang kumengerti, tapi mendengarkan mereka berbicara seperti meredam suara-suara di dalam kepalaku sendiri.

Di depanku, dalam folder plastik, e-ticket menuju India dan paspor. Aku pernah mengatakan padamu betapa aku ingin mengunjungi negara ini, tapi mungkin seperti percakapan-percakapan kita, tidak ada yang pernah benar-benar kamu dengarkan. Tapi aku masih mengingat semuanya, nada suaramu, caramu tersenyum, dan bagaimana matamu mengelak dari pandanganku begitu kita menyentuh topik yang kamu benci. Bagaimana aku bisa mengingat itu setelah empat bulan berlalu sejak terakhir kita bertemu? Mungkin karena tanpa sadar aku telah membuat keputusan untuk tidak melupakanmu.

Aku menatap bayanganku di kaca gelap di samping mejaku. Seorang perempuan berambut pendek dengan ketidakpastian di dalam carrier-nya. Aku memotong rambutku, Panji. Kupikir perempuan dibagi dalam dua kategori, berambut panjang dan berambut pendek. Aku berhenti menjadi perempuan berambut panjang dan menyukai Mima berambut pendek. Kupikir kamu selalu menyukai perempuan berambut panjang, karena itu aku memotong rambutku. Tapi apa yang kupikir aku tahu tentang dirimu, selalu membawaku kedalam kejutan-kejutan yang tidak menyenangkan. Manusia terlalu banyak membuat teori, karena itu mereka selalu kecewa. Teoriku tentang aku dan kamu, bahwa kita adalah dua manusia yang seharusnya bersama, mendukung teori pertamaku, bahwa kamu selalu merasa berada di rumah bila berada di sampingku. Tapi lagi-lagi, teori-teori.

Aku menatap pesawat-pesawat yang datang dan pergi di balik jendela kaca. Aku bertanya-bertanya apakah kamu juga menghabiskan subuh di dalam ruang tunggu, seperti diriku sekarang. Apa yang kamu baca, siapa yang kamu ajak mengobrol dan apa yang kamu pikirkan. Sebelum kamu pergi, kamu meninggalkan pesan, kata maaf dan ucapan selamat berpisah. Kamu dan keputusan-keputusanmu. Perempuan yang kamu pilih. Dan perempuan yang kamu tinggalkan. Panji, menahan air  mata untuk turun itu seperti berjuang melawan gravitasi, aku merasakan otot-otot perut, pelipis dan rahangku berkontraksi sekaligus. Aku mencari cara untuk membencimu tapi kurasa itu hal yang sangat picik. Tidak ada yang rumit, hanya, kamu memutuskan untuk bersama perempuan yang bukan diriku. Ketika aku mengatakan bahwa aku mengerti dirimu, harus kuakui ini adalah hal yang paling susah untuk kumengerti. Tapi kuputuskan untuk mencoba.

--

Panji, saat ini aku berbaring di dalam bis tingkat, langit malam di perbatasan Udaipur dan Jodhpur cerah. Monsoon telah berakhir dan kini aku berada di penghujung October Heat. Bis malam ini melaju melintasi padang rumput dan bukit-bukit dengan rumput kecoklatan. Langit terang, bulan bersinar, dan bintang-bintang seperti serbuk gula yang ditabur. Seperti apa langit yang menaungimu malam ini? Sungguh menyenangkan (sekaligus mengkhawatirkan), bahwa dimanapun kita berdiri, sejauh apapun kita berlari, angin yang berbeda, tanah yang berbeda, bahasa yang berbeda dan aroma yang berbeda, bintang-bintang tetap sama  dan diam dalam formasinya. Scorpius, Cassiopeia dan Perseus.

Di bawah tempat tidurku, sepasang suami istri India duduk, kain sari oranye sang istri menyapu lantai dan ia membiarkan suaminya tertidur di bahunya sementara ia menatap nanar pada jalanan hitam di luar jendela bis. Aku teringat dulu, bagaimana aku membiarkan bahuku untuk bebanmu, bagaimana aku ingin memelukmu dan meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Semua tidak pernah baik-baik saja, tapi setidaknya untuk saat itu, kamu bisa menutup matamu dan tidur. Kemudian bayanganku di kaca bertanya, akankah aku melakukan hal itu lagi untukmu?

Mungkin, kamu lupa, tapi aku pernah membacakan potongan kalimat dari salah satu novel yang kubaca, dua orang sahabat dan salah satunya berkata (ketika temannya meminta pertolongannya), walaupun itu sulit dan membuatnya sedih, : untukmu, akan kulakukan beribu-ribu kali lagi. Waktu itu aku menganggap itu sebuah kata-kata yang sangat indah yang bisa diucapkan oleh seorang sahabat.

Tapi aku sekarang mengerti mengapa itu menjadi indah.
Mungkin karena ia telah melepaskan semua teori-teori dan harapan-harapan.
Mungkin karena ia tidak lagi menginginkan apapun dan memberikan semua.
Mungkin karena ia menyimpan hal-hal yang menyakitkan, untuk dirinya sendiri.
Dan mungkin karena ia telah berdamai dengan dirinya sendiri.

Elemen-elemenku membentuk rasa hangat di perutku, seperti minyak kayu putih yang dioleskan ketika hari dingin. Untuk pertama kalinya setelah terakhir kali aku bertemu dirimu, aku bisa menutup mataku untuk beristhirahat. Aku telah memutuskan.

Untukmu, seribu kali lagi.
Dan untukku, tempat di antara bintang-bintang tertidur.

“For you, a thousand times over.”
-Khaled Hosseini, The Kite Runner-

Monday 9 January 2012

Menyimpan Aroma Hujan


Lucu juga bagaimana kesadaran akan sesuatu tumbuh dalam pikiran kita. Terutama ketika kesadaran tersebut mengubah jalan pikiran dan bahkan hidup kita. Mungkin inilah salah satu pembentuk elemen yang paling penting.

Setelah menjalani hubungan yang baik dengan Satria selama 4 tahun, setelah melalui masa kuliah dan kemudian lulus bersama, setelah pembicaraan mengenai masa depan menjadi mimpi bersama, sebuah kesadaran datang ke dalam pikiranku : aku tidak ingin menikah dengan Satria.

Kesadaran ini datang di waktu yang sangat ironis, di dalam masjid pada suatu prosesi akad. Teman kuliah kami menikah pagi itu, aku mengenakan atasan sutra batik dan celana hitam. Satria dengan atasan batik senada, aku selalu menyukai fakta bahwa ia selalu tampil baik dalam segala kesempatan. Aku masih ingat harum Polo di badan Satria ketika ia menggandeng tanganku menapaki tangga masjid, dan ia tertawa melihatku mengerutkan kening, “hati-hati, makanya heels-nya jangan tinggi-tinggi.” Aku memberikan pembelaan  bahwa ini heels yang paling cocok dengan dress batik-ku.

Di dalam masjid kami berpisah, ia duduk di bagian pria, dan beberapa kali melemparkan pandangan padaku. Satria selalu seperti itu, ia selalu berusaha memastikan bahwa aku ada dalam jarak pandangnya, kadang-kadang membuatku tidak nyaman, terkadang aman. Aku melambaikan tangan kecil dan perhatianku teralih oleh temanku, Lia, sang mempelai wanita yang  telah memasuki aula masjid. Lia nampak cantik dengan paes dan rangkaian melati membalut konde di kepalanya, baju kebaya putih berpayet-nya berkilau diterpa cahaya matahari yang masuk di sela-sela bouvenlicht masjid. Ia tidak tersenyum dan tidak membuat kontak mata, sementara calon suaminya mengucapkan ijab kabul dengan lantang. Aku melemparkan pandangan ke arah Satria dan mendapati ia sedang menatapku seraya tersenyum. Senyumnya berbicara seakan meredam suara-suara di sekeliling kami, bahwa suatu hari nanti, kamilah yang akan berada di depan dan aku yang akan mengenakan kebaya berpayet putih.

Aku mengalihkan pandangan dan kembali menatap Lia di podium. Sesaat lagi mereka akan sah menjadi suami istri, dan aku melihat tatapan Lia, teduh dan menunduk. Seakan-akan ada kekuatan agung yang menguasainya, membuatnya patuh dengan cara yang tidak terdeskripsikan. Di mataku, bukan Lia yang kulihat, tapi seorang wanita. Seakan-akan ia telah termarginalisasi dan Lia yang lama telah hilang.
Saat itulah aku menyadari bahwa aku tidak ingin menikah dengan Satria.

Hari dimana aku mengatakan isi hatiku pada Satria adalah hari dimana aku terakhir berbicara dengannya. Ia bertanya mengapa, dan mengapa, dan mengapa. Ketika aku tidak bisa memberikan jawaban yang memuaskan ia terdiam dan pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun. Ia menghilang di balik kaca patri kedai kopi, dan ketika pintu tertutup aku bertanya-tanya berapa orang dalam hidupku yang akan hilang setelah aku berpisah dengan Satria. Tante Wuri dan Om Daniel, ayah ibu Satria. Bi Ijah, pembantu di rumah Satria. Bahkan Buggy, anjing Pug pemalas milik Satria yang kami beli bersama setahun yang lalu.
Ketika aku mengingat Buggy, aku menangis.

-

Dua tahun berlalu dan aku sama sekali tidak pernah bertatap muka dengan Satria. Lucu juga bagaimana elemen-elemen pembentuk hidup dapat hilang dan muncul semudah itu. Aneh rasanya bagaimana aku bisa melepaskan seseorang yang tahu jelas bahwa aku lebih memilih indomie rasa ayam bawang dibanding kari. Seseorang yang tahu bahwa aku selalu duduk di sisi kanan di dalam gedung bioskop. Seseorang yang selalu tahu bahwa aku tidak menyukai makanan berwarna biru dan selalu dengan senang hati memakan m&m’s berwarna biru yang kusisakan. Seseorang yang menjadi bagian dari elemen-elemen pembentuk hidupku tahunan lamanya.

Aneh karena aku tidak merindukannya sekaligus merindukannya. Seperti merindukan aroma hujan ketika musim kemarau datang, sangat wajar. Bukankah manusia selalu merindukan hal-hal yang indah dan menyenangkan baginya? Tapi tidak mungkin untuk menyimpan aroma hujan, jadi hanya dengan mengingatnya saja, itu sudah cukup baik.

Kesadaran kecil di pagi hari prosesi akad Lia (yang sekarang sudah mempunyai dua anak perempuan), membawaku ke dalam proses perubahan-perubahan pikiran yang menyenangkan. Sebagian adalah perasaan lega, seakan selama ini aku menyelam tanpa tabung oksigen dan kini aku membuka lebar paru-paruku dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

Setelah beberapa lama, akhirnya aku menjadi seorang individu.

Bukan pacar, bukan milik seseorang, tapi seorang wanita muda yang bebas.

Menyenangkan ketika elemen-elemenku mulai berubah dan aku menyadari bahwa duduk sendiri di dalam bioskop itu menyenangkan, indomie rasa kari tidak seburuk yang kukira dan m&m’s berwarna biru sama rasanya dengan yang merah atau kuning.

“Mungkin emang lu gak pernah bener-bener cinta sama Satria.” Tisa berteori.

Mungkin, tapi samar-samar aku ingat aku pernah benar-benar mencintai dan menangis untuknya.

Kesadaran lain timbul,

Cinta ternyata bukan hal yang spesial. Tidak ada yang lebih baik daripada menghabiskan Sabtu malam ditemani sepiring chicken wings dan saus tartar, campuran sprite dan guinness dengan irisan lemon, Jim Sturgess di layar kaca dan suara hujan di luar jendela. Serta kemungkinan akan cinta yang lain besok pagi.

Halo, Mima.

Monday 2 January 2012

Pilihan dan Keputusan

Pilihan #1

Pada suatu pagi yang mendung, aku duduk di depan laptop dan berusaha mengetikkan email balasan untuk sahabatku di India sembari mengunyah ledre pisang. Berusaha supaya rontokan ledre tidak jatuh ke atas keyboard. 

"Mima, jangan makan sambil ngetik gitu," ibu berkomentar dari dapur, aku pura-pura tidak mendengar. Sahabatku ini, Tisa, sudah setahun lebih menghabiskan waktunya di India setelah sebelumnya meninggalkan Indonesia dan karirnya di bank swasta. Pilihannya untuk bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat dan menetap di Mumbai membuat shock semua orang, termasuk diriku. 

Ping!
tisa > ah lu online! 
mima > tisa, baru mau gua bales email lu..
tisa > mim, gua lagi bahagiaaa
mima > knp?
tisa > gua baru dilamaarr!

Aku tersedak ledre pisang.

Pelamar yang beruntung adalah teman lama Tisa, mereka saling kontak di facebook dan lewat percakapan-percakapan tengah malam mereka yakin bahwa mereka ditakdirkan untuk satu dan lainnya. Akhirnya, lewat telepon pria ini melamar Tisa, dan Tisa menjawab ya. Pada poin ini, remahan ledre pisang sudah berhamburan di sekitar laptopku. 

Pilihan #2

"Jadi mau yang mana? Salem pink atau salem peach?" Tisa menyodorkan kain ke hadapanku.
"Mirip Tis.." aku menyeret langkahku ke dalam gulungan warna warni kain. Di luar matahari Jakarta bersinar terang dan di dalam toko kain 'Bombay' AC berhembus kencang, tepat di atas kepalaku. 
"Mima, konsen dong.., ini buat seragam lu loh!" Tisa menarik lengan bajuku. 
"Tis, sekali-kalinya lu pulang kenapa sih kita harus ke toko kain?" tapi kuambil juga dua kain salem itu dari tangannya, Tisa tersenyum puas. 
"Pilih yang bener Mim, warna kain nentuin banget loh warna kulit lu jadi lebih gelap atau terang." Ia membuka kain brokat dan meletakkan di lenganku, "salem pink ini bikin kulit lu tambah gelap, yang peach bikin lebih terang, liat deh."

Luar biasa bagaimana Tisa bisa begitu lama memikirkan pilihan yang paling tepat untuk kain dan secepat itu memilih pasangan hidup. 

Seperti bisa membaca pikiranku, Tisa berkata, "gua tau sih keputusan yang gua ambil kesannya terburu-buru," ia memberikan penekanan pada kata 'kesannya', "tapi lu percaya kan sama gua Mim? Ada suatu keyakinan dalam diri gua kalau gua bisa menjalani itu."

Itulah masalahnya, aku tidak yakin.

Aku tersenyum, "gua percaya. gua ambil yang peach aja Tis.."
"Oke," Tisa tersenyum lebar, "sekarang kita pilihin kain buat bude-bude gua ya."

Pilihan #3

Tiga bulan setelah berita lamarannya, Tisa berubah. Bulan pertama dari Mumbai ia membanjiriku dengan cerita tentang Rangga, tunangannya. Bulan kedua ia pulang ke Indonesia dan membanjiriku dengan segala macam tetek bengek pernikahannya. Bulan ketiga ia menjadi sangat pendiam. Setiap kutanya ia selalu menjawab, "capek".

Seminggu sebelum hari pernikahannya, ia mengundangku untuk sebuah coklat hangat di restoran kecil tempat kami dulu sering berkumpul, sebelum ia pergi ke Mumbai dan segala sesuatu mulai berubah. Tante pemilik restoran menyapa kami ramah sebelum meninggalkan dua coklat panas beraroma hazelnut diantara kami. 

Tanpa menyentuh coklatnya atau menatap mataku, Tisa berkata tanpa titik dan koma. Ia tidak yakin ingin menikah dengan Rangga. Ia tidak yakin ingin menghabiskan hidupnya dengan Rangga. Ia ingin semua kembali simpel, dengan kehidupannya di Mumbai, sendiri. Ia tidak ingin pulang ke Indonesia dan menjadi ibu rumah tangga. Ia tidak ingin hidupnya berakhir dengan daster dan pisau dapur.

Aku menatap sahabatku, bertopang dagu dengan mata merah. Jelas bahwa ia belum tidur sejak kemarin, rambutnya berminyak dan bau asap rokok melekat pada bajunya. Ia terdiam menungguku mengeluarkan kata-kata.

Di luar restoran kecil ini, senja mulai turun. Pohon, jalanan, dan mobil-mobil yang melintas semua nampak berwarna biru keabuan. Tukang parkir berlari untuk menerima seribu rupiah dari sebuah mobil sedan. Dua mahasiswi berjalan sambil tertawa, tidak menghiraukan sapaan usil preman di kios rokok. Seekor kucing kampung menyusup ke dalam restoran berusaha menemukan remah-remah roti. Tidak ada yang cukup penting di dunia ini, termasuk Tisa dan pilihan-pilihannya.

Sejauh yang kutahu, apapun pilihan Tisa tidak akan berdampak banyak pada tukang parkir, dua mahasiswi, preman di kios rokok, kucing kampung atau diriku. Tapi sore ini ia menunggu pilihanku akan hidupnya. Akankah aku menjadi seorang teman yang mendukungnya apapun pilihannya (sepertinya terdengar aman) atau seorang teman yang mengingatkannya betapa ia sangat mencintai Rangga (setidaknya itu yang dua bulan ini selalu keluar dari mulut Tisa). Dan pentingkah pendapatku untuknya?

Keputusan

Dua bulan setelah keputusan Tisa, aku menerima telepon darinya, ia hamil. Suaranya memekik riang, naik dua oktaf. Suaminya seorang teknisi IT di Mumbai bernama Karn yang dengan sangat baik hati mengirimiku tiket untuk menghadiri pernikahan mereka di India, karena tidak seorangpun anggota keluarga Tisa bersedia hadir sejak ia memutuskan secara sepihak untuk meninggalkan Rangga.

Terakhir kali aku meminum coklat panas di restoran langganan kami, tukang parkir itu masih disana, tante pemilik restoran menyapaku ramah seperti biasa, preman kios rokok terbaring tidur di bangku kios dan kucing penyelinap tertidur pulas di bawah meja kasir, kekenyangan.

Aku menyesap coklatku pelan dan tersenyum. Lucu juga betapa keputusan besar pengubah jalan hidup seseorang berarti begitu kecil untuk dunia. Apa yang kukatakan pada Tisa saat itu adalah, "apapun masalah hidup lu, Tis..sepertinya dunia tidak akan berhenti berputar dan ikut ambil pusing."

Jadi Tisa memutuskan untuk tidak ambil pusing dengan dunia, memilih untuk menjadi egois, meninggalkan Indonesia sekali lagi (dengan lebih dramatis dari sebelumnya), dan memilih menyelami ketidakpastian di bawah langit Mumbai.

Elemen-elemen pembentuk diri Tisa membawanya bertemu dengan Karn dan walaupun sekarang ia duduk di dalam apartemen pada pagi hari yang panas di Prabasdhevi Road, memegang pisau dapur, mengenakan daster, hamil dan seorang ibu rumah tangga, Tisa seorang perempuan yang sangat bahagia. 

pemandangan dari jendela apartemen Tisa. 

Sunday 1 January 2012

Halo

The Elements of Style adalah sebuah buku kecil tentang tata cara penulisan yang baik dalam bahasa Inggris. Buku seharga USD 9.95 ini mendarat di pangkuanku pada suatu sore yang dingin di Bandung. Pemberinya pria yang umurnya dua kali umurku, penulis blog traveling, ramah, dan mentor yang menyenangkan. Buku ini memuat hal-hal berguna seperti 'Form the possesive singular of nouns by adding 's' atau 'Place a comma before a conjunction introducing  an independent clause', tapi yang paling kusuka adalah judul buku saku ini, sebuah pernyataan bahwa style dibentuk dan memiliki elemen.

Menurut kamus Mirriam Webster, Style diartikan sebagai a way of behaving and doing things. Sebuah cara untuk berperilaku dan melakukan hal-hal tertentu. Secara sadar (atau tidak), beberapa dari kita memiliki gaya-gaya tersendiri untuk menghadapi dunia. Mempunyai pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan yang menyebabkan, bila dikatakan secara puitis, membuat dunia berputar. Elemen-elemen yang membentuk pola pikir seseorang menurutku adalah sesuatu yang menarik.

Kurt Vonnegut mengatakan menulislah untuk membuat senang satu orang. Kalau kamu bercinta dan membuka jendela pada dunia, pasti ceritamu akan terkena paru-paru basah! Kuputuskan satu orang itu adalah diriku sendiri. Tetapi kuharap, dari setiap cerita setidaknya ada satu atau dua yang kalian suka. Hal yang menyenangkan dari memuat cerita di dalam blog adalah : kalian bisa memberi komentar langsung di tiap posting  (yang sebenarnya sedikit menakutkan buat para penulisnya).

Aku memulai ini dari sebuah buku kecil dari seorang teman baik, yang mungkin saat ini sedang menatap ladang jagung di Kansas. Tornado tidak membawanya ke Oz tapi ke kota kecil yang padat di Jawa Barat, menemukan jalannya untuk bertemu denganku, duduk bersama ditemani kopi dan segudang cerita. Ia mengatakan padaku, Mima, tidak ada yang namanya diam di tempat, hanya ada dua pilihannya, kamu jalan maju ke depan, atau mundur ke belakang. 

Januari ini, aku maju ke depan. Berdoa semoga tidak terkena paru-paru basah, dan berharap semoga elemen-elemen pembentuk manusia di dalam tulisan ini setidaknya membuat kamu berpikir, elemen apa yang membentuk dirimu?